Kilau Bintang #1
Oleh : Dwi Cahya Ningsih
Namaku Dea. Sekarang, aku berusia 35 tahun. 14 tahun yang lalu, aku mempunyai lima sahabat yaitu Bintang, Divia, Lena, Rio, dan Aji. Diantara mereka ada satu sahabat yang terbaik bernama Bintang. Sejak bayi saat dia baru dilahirkan, ibunya pulang ke rahmatullah. Bersamaan dengan itu, ayahnya juga menyusul ibu. Saat badannya harus tergiling mesin besar. Jadilah Bintang anak yatim piatu yang sayang neneknya dan tinggal bersama.
Pagi itu, aku dan teman-teman berangkat ke sekolah naik sepeda. Kami sudah biasa menembus rimbun hutan, melindas kerikil tajam juga lumpur mendidih bersama. Walaupun seperti itu semangat takkan pernah kendur lagi. Ingat perkataan Bintang untuk tetap semangat menjalani hidup sesulit apapun itu.
Di tengah perjalanan saat pohon cemara melebarkan daunnya menutupi sesosok bayangan, kami mengayuh sepeda dengan cepat mencari seberkas sinar nyata wujud seseorang disana. Samar-samar, kami mengenali postur tubuh ideal lelaki dan cara berjalannya. Ya benar itu Bintang. Sebelum Dea ingin memanggilnya, si Aji berteriak.
“Bintang … woi … bintaaang !” teriak kami hampir bersamaan. Bintang terkejut dan langsung menyapa balik.
“Hai, halo kawan-kawan !!!” sambil melambaikan tangan kanannya ke arah suara datang.
“Kamu mau ke sekolah ? Ayo ikut bersama kami !” seru Divia, Lena, Rio, dan Dea.
“Terima kasih, saya tidak mau merepotkan kalian.” Tolak Bintang dengan senyuman.
“Ah, gitu aja kok repot !” ledek Aji.
“Hahaha … oke deh tariiik !” kaki Bintang pun berpijak di dua buah besi lingkaran kecil di tengah roda sepeda Aji. Akhirnya Bintang ikut bersama mereka menuju sekolah.
Kami masih SMP kelas dua di SMPN 16 Kota Cirebon. Sebuah sumur ilmu yang setiap hari kita timba hingga airnya tak tersisa. Sesampainya di gerbang sekolah.
“Oh tidaaaakkkk … jangaaan. Pak tolong kami mau masuk !” teriak kami terkejut. Sempat kami ulang pernyataan yang sama beberapa kali. Pak Satpam hanya duduk menonton televisi menyikapinya. Kami jengkel dan terus menggebrak-gebrak pagar sekolah, seketika itu Bapak Rino guru IPA FISIKA datang.
“Kalian datang terlambat, cepat masuk !” bentak Pak Rino. Dengan langkah kaki gemetaran kami berlima memasuki gerbang yang dibuka oleh Pak Satpam. Tidak disangka tangan Pak Rino melesat dengan cepat dan memelintir telinga kami hingga meninggalkan bekas merah padam di telinga.
“Auuh … ma’afkan kami pak !” Lena memohon.
“Kalian sudah tau kan peraturan di sekolah ini ?!” kami hanya mengangguk.
“Kalian harus dihukum, cepat lari tanpa alas kaki dan bersihkan ruang kantor guru sekarang !” mereka panik dan mulai keluar keringat dingin dari dahinya.
Melihat temannya yang butuh pertolongan, si Bintang menyela dan membela,”Ma’af pak biar saya saja yang melakukan hukuman itu. Semua ini karena salah saya.” Divia, Lena, Rio, Aji, dan Dea tidak menyangka Bintang memberikan pertolongan kepada mereka.
“Kalau begitu, cepat kerjakan !” lantang Pak Rino berbicara pada Bintang.
Bintang mulai berlari, menjalankan hukumannya. Namun kami masih terdiam, melihat Bintang yang sedang menjalani hukumannya. Melihat itu, Pak Rino mulai marah lagi. “Dan kalian apa mau dihukum juga ? Cepat masuk !” Nadanya sangat lembut di awal kalimat, namun sangat menyeramkan di akhir kalimat. Matanya menatap tajam seakan bola matanya mau keluar. Seram.
“Bbbaa … iiikkk … Pak !” Akhirnya dengan sangat terpaksa kami meninggalkan Bintang sendirian di tengah matahari yang ingin membakar kulitnya.
***
Saat matahari mengucapkan Sampai Jumpa pada bumi, bulan menggantikan posisinya. Sudah menjadi tradisi organisasi kami, setiap malam berkumpul. Walaupun hanya sekadar untuk bersilaturahmi atau mengadakan rapat penting mengatasi kesulitan warga setempat. Malam itu, semua orang yang terdapat di struktur organisasi hadir yaitu ketua: Bintang, wakil ketua: Divia, sekertaris: Lena, bendahara: Dea serta anggota: Rio dan Aji. Dalam rapat untuk kebersihan lingkungan, semua orang memperhatikan kecuali Divia yang sedari tadi hanya menatap lantai atau melihat bulan di langit dari balik jendela. Raut muka Divia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Maka setelah rapat selesai, Bintang menemui Divia dan duduk di sampingnya. “La tahzan ukhti. Apa kamu ada masalah ? Saya selalu siap menjadi tempat curhat untukmu.”
Divia menyeka air matanya,”Tidak. Saya tidak bersedih. Terima kasih atas tawaranmu.”
“Tetapi matamu yang mengatakan jika dirimu sedang terluka.” Menyingkirkan bulir air mata Divia yang meluncur secara tiba-tiba dengan sapu tangannya. Divia diam dan sejenak menghela nafas.
“Kamu memang benar. Saya tidak bisa mengelak lagi. Saya bersedih karena terluka oleh sikap orang tua saya yang selalu bertengkar jika mereka bersa … mmaa …” seluruh tetes air mata yang dibendungnya sejak lama kini pecah dalam sentuhan lembut sapu tangan milik Bintang.
“Teman, mukamu jelek banget sih kalau lagi nangis. Tuh kan, nanti cantiknya luntur loh kena air mata. Sudah air matanya disimpan dulu buat besok nanti habis.”
Divia yang tadinya terisak dengan emosi yang tidak karuan kini berusaha menstabilkannya.
“Hiks … hiks … me … mang air ma … ta bisa habis ?” suaranya bergetar dan patah-patah.
“Iya. Sudah makanya kamu jangan nangis.” Bintang berbohong demi ketenangan batin Divia, tapi dia tetap saja tidak bisa menyembunyikan gelak tawanya. Ketahuan deh.
“Kenapa kamu tertawa Bintang ? Apa jangan-jangan kamu bohongin saya ?”
“Hihihi … ma’af ya. Ini saya lakukan supaya kamu berhenti menangis.”
Divia mengelap lagi air matanya,” kamu tidak salah kok. Seharusnya saya berterima kasih sama kamu karena telah berusaha untuk menghibur. Jadi … terima kasih ya Bintang, sahabat terbaikku. Kalau dipikir-pikir juga mana ada sih pernyataan yang membuktikan bahwa kalau kita menangis air mata akan habis. Kalau bengkak sih mungkin. Dan sebenarnya siapa yang bodoh sih ?”
“Kamu ?!” ledek Bintang.
“Ihh ! Bukan tau. Tapi …” Divia melirik Bintang penuh arti.
Dan … “Kita !” jawab kami serentak. Di malam yang indah ini semakin indah saja, saat gelak tawa hadir diantara kami berdua.
***
Embun di rumput halaman rumah Dea menjadi awal hari minggunya yang buruk.
“Dea …”
“Iya, Ma. Ada apa ?” menghampiri mamanya yang sedang membuat kopi dan makanan di dapur.
“Tolong kamu pergi ke pasar beli sayuran juga bahan lainnya. Yang akan kamu beli sudah mama catat di kertas ini.” Memberikan selembar kertas pada anaknya. Dea fokus membaca daftar barang yang akan dibelinya nanti.
“Oh iya, Nak nanti mama sama papa mau pergi ke rumah teman papamu dulu. Papamu ada perlu dengannya tentang bisnis kerja. Jadi sepulang dari pasar, kamu jaga rumahnya ya. Nih kuncinya.” Sebuah kunci rumah telah berpindah ke tangan anaknya.
“Sip Ma, Dea langsung berangkat ya !” mengambil keranjang plastiknya dan beberapa lembar uang sepuluh ribuan, Dea bergegas pergi ke pasar.
Hingga keranjang plastiknya terpenuhi oleh sayuran dan bumbu dapur, Dea pulang menuju rumah. Tetapi saat kakinya ingin menapaki jalanan beraspal, dari arah kiri tangannya sebuah motor melaju secepat kilat dan Dea pun terserempet. Badannya limbung. Semua belanjaannya terserak kemana-mana. Pandangannya pun mulai samar-samar dan berapa menit kemudian hilang … Dea pingsan. Bintang yang melihat Dea terkapar di tengah jalan, langsung memasukkan belanjaan yang masih baik ke dalam keranjang dan menggendongnya pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
Kebetulan sampai di rumah Dea, kondisinya sepi, tak ada orang yang terlihat. Bintang membaringkannya di sofa dan mengobati luka lecet di lutut juga sikut Dea dengan obat merah. Setelah itu, Bintang menulis surat karena tidak ingin Dea tau bahwa dirinya yang menolongnya. Bintang pun balik ke rumahnya.
15 menit berlalu, Aji datang ke rumah Dea membawa sekotak nastar buatan ibunya. Dia terkejut melihat Dea yang berbaring di sofa dengan luka lecet di sekitar sikut dan lututnya. Melihat sayuran yang sedikit kotor di keranjang belanjaannya, lontaran pertanyaan dan pernyataan berkecamuk dalam otaknya. Mata Aji semakin terbelalak melihat sepucuk surat tergeletak rapi di atas meja. Dia mengambil lalu membacanya.
Benar, Dea itu habis kecelakaan dan penolongnya itu tidak mau memberikan identitasnya. Tapi, mengapa? Batinnya berucap.
Terlalu seriusnya Aji berpikir, dia tidak sadar kalau Dea mulai siuman. “Aajii … apa kamu Aji ?”
“Eh iyaa … Dea, kamu enggak apa-apa kan ?” Timbul niat jahatnya. Dia menyelipkan surat di saku belakang celananya.
“Kamu masih sakit ? Tadi aku yang membawamu kemari. Karena tadi kamu hampir tertabrak mobil !” Kata Aji asal.
“Enggak apa-apa kok cuma pusing kepala saja. Aji, makasih ya sudah menolong saya. Kamu memang sahabat terbaik yang pernah saya kenal.”
“Iya sama-sama, Dea.” Aji terbuai dengan pujian Dea hingga dia tidak sadar bahwa yang dilakukannya itu salah.
Ckrek …
“Assalamu’alaikum warohmatullah hi …” salam mama terpotong.
“Ya Allah nak, kamu kenapa kok sikut dan lututmu lecet ?” Dea dan mamanya berpelukan.
“Dea habis kecelakaan ma ! Terserempet mobil tapi enggak apa-apa kok cuma luka ringan saja.” Mengelus rambut Dea dan mengamati luka di tubuhnya. Papanya pun sempat panik namun segera bersyukur bahwa anaknya hanya luka ringan.
“Siapa yang menolong kamu nak ?” Dea melepaskan pelukan mamanya dan menarik lengan Aji.
“Ini ma, perkenalkan sahabat terbaik Dea namanya Aji. Nah, dia ini yang sudah menolong Dea.” Di wajah mama dan papa Dea terukir senyuman.
Papa Dea mengeluarkan sepuluh lembar uang seratus ribuan yang diberikannya kepada Aji. “Oh Aji. Ini kan sahabat kecilmu, Dea. Terima kasih Aji, telah menyelamatkan anak kami. Sebagai balasannya ini ada sedikit uang jajan buatmu.” Tangan Aji gemetaran menerimanya. Entah. Niat jahatnya tidak pernah berhenti berjalan.
***
Bersambung........
komentku, pov(sudut pandang)nya masih membingungkan. di awal cerita bilang, "namaku Dea" berarti make pov 1. nah ditengah ada tulisan "embun rumput di halaman rumah Dea." kok berubah pov 3? ayo, konsisten make pov. karakter kurang kuat, ini cerpen tokoh utamanya siapa sih?
BalasHapus